Lurik merupakan nama kain, kata lurik
sendiri berasal dari bahasa Jawa, lorek yang berarti garisgaris, yang
merupakan lambang kesederhanaan. Sederhana dalam penampilan maupun dalam
pembuatan namun sarat dengan makna (Djoemena, Nian S., 2000).
Selain berfungsi untuk menutup dan
melindungi tubuh, lurik juga memiliki fungsi sebagai status simbol dan
fungsi ritual keagamaan. Motif lurik yang dipakai oleh golongan
bangsawan berbeda dengan yang digunakan oleh rakyat biasa, begitu pula
lurik yang dipakai dalam upacara adat disesuaikan dengan waktu serta
tujuannya.
Nama motifnya diperoleh dari nama
flora, fauna, atau dari sesuatu benda yang dianggap sakral. Motif
lurik tradisional memiliki makna yang mengandung petuah, cita-cita,
serta harapan kepada pemakainya. Namun demikian saat ini pengguna
lurik semakin sedikit dibandingkan beberapa puluh tahun yang lalu.
Perajinnya pun dari waktu ke waktu mulai menghilang.
Lurik menurut Ensiklopedi Nasional
Indonesia (1997) adalah suatu kain hasil tenunan benang yang berasal
dari daerah Jawa Tengah dengan motif dasar garis-garis atau
kotak-kotak dengan warna-warna suram yang pada umumnya diselingi aneka
warna benang. Kata lurik berasal dari akar kata rik yang artinya
garis atau parit yang dimaknai sebagai pagar atau pelindung bagi
pemakainya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(1990), lurik adalah kain tenun yang memiliki corak jalurjalur,
sedangkan dalam Kamus Lengkap Bahasa Jawa(Mangunsuwito:20 02)
pengertian lurik adalah corak lirik-lirik atau lorek-lorek, yang
berarti garis-garis dalam bahasa Indonesia.
Dan berbagai definisi yang telah
disebutkan di atas, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa lurik
merupakan kain yang diperoleh melalui proses penenunan dari seutas
benang (lawe) yang diolah sedemikian rupa menjadi selembar kain katun.
Proses yang dimaksud yaitu diawali dari pembuatan benang tukel, tahap
pencelupan yaitu pencucian dan pewarnaan, pengelosan dan pemaletan,
penghanian, pencucuk-an, penyetelan, dan penenunan. Motif atau corak
yang dihasilkan berupa garis-garis vertikal maupun horisontal yang
dijalin sedemikian rupa sesuai warna yang dikehendaki dengan berbagai
variasinya.
Tidak banyak ditemui tulisan mengenai
kain tenun lurik. Hanya ada beberapa saja, antara lain yang ditulis
oleh Nian S.Djoemena dalam bukunya yang berjudul Lurik, Garis-garis
Bertuah. Dalam buku tersebut dijelaskan mengenai proses pembuatan kain
lurik beserta alat yang digunakan. Selain itu, diuraikan pula
mengenai macam macam motif lurik, makna, waktu pemakaian, dan
fungsinya secara garis besar terutama dalam acara ritual keagamaan dan
dalam upacara perkawinan. Lurik yang diuraikan dalam buku tersebut
tidak hanya terbatas pada motif lurik Yogyakarta, ada pula motif Jawa
Tengah dan Tuban, ada pula motif irip lurk yang terdapat di luar Jawa
maupun Juan Indonesia.
Namun, buku ini belum menjelaskan lebih
lanjut mengenai perkembangan lurik saat ini dan usaha pelestariannya.
Kain lurik merupakan kain tenun dengan motif garisgaris pada sehelai
kain. Kata Lurik berasal dari bahasa Jawa yaitu lorek yang berarti lajur
atau garis (Djoemena, Nian.S: 2000).
Namun pakaian atau kain dengan motif
lorek tidak dapat secara langsung disebut lurik, karena lurik harus
memenuhi persyaratan yang berkaitan dengan bahan tertentu dan diolah
melalui proses tertentu pula, mulai dari pewarnaan, pencelupan,
pengkelosarf, pemaletan, peghanian, pencucukan, penyetelan, sampai pada
penenunan, hingga nantinya menjadi kain yang slap dipakai.
Motif kain lurik ternyata tidak hanya
berupa garis-garis membujur saja, tetapi dalam perkembangannya
kemudian, motif kotak-kotak sebagai hasil kombinasi antara garis
melintang dengan garis membujur dapat dikategorikan sebagai lurik.
Tidak hanya berupa garis, motif kain
lurik ada juga yang berupa kotak-kotak yang merupakan perpaduan dua
garis vertikal dan horisontal yang pada kain tenun yang bercorak garis
atau kotak saja, akan tetapi termasuk pula kain polos dengan berbagai
warna, seperti merah dan hijau atau dikenal dengan nama lurik polosan.
Seperti apa yang diungkapkan Dibyo bahwa “Sifat lurik yaitu: bahannya
dari katun, gambar garis, tetapi kadang bikin kotak-kotak, ataupun
polos. Meskipun polos, namanya tetap lurik.”
Nilai Kehidupan
Salah satu keunggulan manusia adalah bahwa ia memiliki daya kreatif untuk membuat, membentuk apa yang ada di sekelilingnya, kemudian diolah menjadi sesuatu yang bermanfaat. Daya kreativitas tersebut merupakan bagian yang penting dalam proses berkarya seni. Seni merupakan kegiatan kreatif imajinasi manusia untuk menerangkan, memahami, dan menikmati kehidupan (Haviland:1993). Dengan daya kreatif yang dimilikinya, manusia berusaha menciptakan pakaian yang dibuat dari kapas atau bahan lain, kemudian ditenun menjadi kain. Kain dijahit menjadi pakaian.
Salah satu keunggulan manusia adalah bahwa ia memiliki daya kreatif untuk membuat, membentuk apa yang ada di sekelilingnya, kemudian diolah menjadi sesuatu yang bermanfaat. Daya kreativitas tersebut merupakan bagian yang penting dalam proses berkarya seni. Seni merupakan kegiatan kreatif imajinasi manusia untuk menerangkan, memahami, dan menikmati kehidupan (Haviland:1993). Dengan daya kreatif yang dimilikinya, manusia berusaha menciptakan pakaian yang dibuat dari kapas atau bahan lain, kemudian ditenun menjadi kain. Kain dijahit menjadi pakaian.
Seni memiliki tujuan praktis. Tujuan
praktis ini merupakan guna atau manfaat yang diperoleh secara langsung
bagi penggunanya. Tujuan praktis dari pakaian yaitu untuk melindungi
tubuh dari hawa dingin, gigitan serangga, terik matahari dan berbagai
gangguan lainnya. Selain itu seni memiliki fungsi sebagai norma
perilaku yang teratur, meneruskan adat kebiasaan dan nilai-nilai
budaya (Haviland:1993). Dalam adat berpakaian, seperti dalam
penggunaan kain lurik, terdapat nilai budaya yang akan disampaikan dan
untuk diteruskan kepada generasi selanjutnya.
Pada suatu masyarakat tradisional,
selain memiliki fungsi guna atau manfaat, pakaian seringkali memiliki
fungsi lain seperti fungsi status simbol, maupun ritual keagamaan, pada
motif- motif tertentu terdapat kandungan nilai, harapan, dan
sebagainya. Orang yang memiliki kedudukan sosial tinggi berbeda
pakaiannya dengan orang yang status sosialnya lebih rendah, pakaian
yang dikenakan seorang bangsawan berbeda dengan rakyat biasa, entah
itu berbeda model maupun motifnya. Begitu pula pakaian yang dipakai
untuk upacara tertentu berbeda dengan yang dipakai pada hari biasa.
Sesuai dengan keanekaragaman umat
manusia, pakaian yang digunakan juga bermacammacam dan bervariasi.
Pada masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai tradisinya
seperti yang terdapat pada kelompok-kelompok suku bangsa di Indonesia,
pakaian yang digunakan menunjukkan identitas dari suatu suku bangsa.
Dalam hal ini pakaian bukanlah semata-mata sebagai suatu benda materi
yang hanya dipakai tanpa memiliki arti apapun.
Kain lurik misalnya, merupakan suatu
simbol karena ia memiliki makna. Simbol merupakan tanda yang dapat
ditafsirkan (Geertz:1992,17) atau diekplanasikan. Makna-makna tersebut
merupakan sesuatu yang tidak tampak tetapi dapat dilihat melalui
penafsiranpenafsiran, pemahaman-pemahaman yang kemudian ditata
sedemikian rupa.
Simbol merupakan segala sesuatu (benda,
peristiwa, tindakan, ucapan, dan sebagainya) yang telah ditempeli
arti tertentu. Simbol bukan milik individu, namun milik suatu kelompok
masyarakat. Kelompok masyarakat tersebut terdiri dari sekumpulan
orang yang memiliki sistem pengetahuan, gagasan, ide, adat kebiasaan
serta norma perilaku yang sama, yang diungkapkan dalam tata cara
kehidupan manusia yang terwujud dalam benda-benda budaya.
Kain tenun lurik merupakan salah satu
benda budaya karena dimiliki oleh suatu masyarakat tertentu. Benda ini
merupakan wujud fisik dari ide, nilai, maupun norma yang mengatur dan
memberi arah bagi masyarakat pada suatu kebudayaan tertentu.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Koentjaraningrat (2000) bahwa
terdapat tiga wujud kebudayaan, yaitu norma sebagai tata kelakuan yang
mengatur dan memberi arah, aktivitas yang berpola, dan benda hasil
karya manusia sebagai wujud fisiknya.
Manusia tidak dapat terlepas dari
simbol, karena manusia adalah binatang yang terjerat dalam
jaringan-jaringan makna yang ditenunnya sendiri (Geertz:1992). Di
setiap waktu dan disegala tempat, manusia selalu berhubungan dengan
simbol atau lambang karena is berpikir, berperasaan, dan bersikap
dengan ungkapanungkapan simbolis (Herusatoto: 1987). Simbol atau
lambang ini merupakan hal yang penting bagi masyarakat pendukungnya.
Menurut Ernst Cassirer (1944) bahwa manusia tidak dapat melihat„
menemukan, dan mengenai dunia secara langsung tetapi melalui berbagai
simbol.
Simbol yang terwujud dalam benda-benda
budaya, dalam hal ini adalah kain tenun lurik merupakan sesuatu yang
penting bagi masyarakat pendukungnya. Melalui kain lurik ini terdapat
pesan, nasihat dan panduan hidup yang disampaikan dan diharapkan
nantinya dapat terus diteruskan ke generasi selanjutnya. Terdapat
beberapa hal mengenai simbol seperti ditulis oleh C.A Van Peursen
(1976), bahwa simbol atau lambang memperlihatkan kaidah dalam
perbuatan manusia. Kaidah itu berhubungan dengan seluruh pola
kehidupan, perbuatan, dan harapan manusia. Simbol muncul ketika manusia
sedang belajar dan untuk menampung hasil belajarnya manusia
menggunakan media bahasa, baik bahasa lisan, tulisan, gerak, maupun
visual.
Pengetahuan yang diperoleh manusia dari
hasil belajar semakin lama semakin bertambah. Untuk mempermudah
penyerapan pengtahuan yang semakin banyak tersebut, bahasa kemudain
dialihkan menjadi lambang, simbol abstrak. Pengertian bahasa disini
menjadi meluas meliputi berbagai bentuk lambang berupa tarian, gambar,
kata, maupun isyarat. Lambang yang diungkapkan melalui media bahasa
ini digunakan dalam rangka meneruskan, mewariskan ajaran kepada
generasi setelahnya. Dari simbol yang terdapat pada kain lurik ini
dapat ditemukan harapan, ungkapan, pelajaran positif yang dapat diambil
dan dijadikan pelajaran bagi generasi selanjutnya dalam menentukan
langkah menuju kehidupan yang lebih baik. Meskipun saat ini tidak
banyak lagi yang mengetahui apa makna dibalik motif lurik, namun ada
sebagian orang yang berusaha bertahan untuk membuat dan mengenakannya
baik dalam acara-acara tertentu, maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Sejarah Lurik
Dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia (1997) disebutkan bahwa lurik diperkirakan berasal dari daerah pedesaan di Jawa, tetapi kemudian berkembang, tidak hanya menjadi milik rakyat, tetapi juga dipakai di lingkungan keraton. Pada mulanya, lurik dibuat dalam bentuk sehelai selendang yang berfungsi sebagai kemben (penutup dada bagi wanita) dan sebagai alat untuk menggendong sesuatu dengan cara mengikatkannya pada tubuh, sehingga kemudian lahirlah sebutan lurik gendong.
Dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia (1997) disebutkan bahwa lurik diperkirakan berasal dari daerah pedesaan di Jawa, tetapi kemudian berkembang, tidak hanya menjadi milik rakyat, tetapi juga dipakai di lingkungan keraton. Pada mulanya, lurik dibuat dalam bentuk sehelai selendang yang berfungsi sebagai kemben (penutup dada bagi wanita) dan sebagai alat untuk menggendong sesuatu dengan cara mengikatkannya pada tubuh, sehingga kemudian lahirlah sebutan lurik gendong.
Dan beberapa situs peninggalan sejarah,
dapat diketahui bahwa pada masa Kerajaan Majapahit, lurik sudah
dikenal sebagai karya tenun waktu itu. Bahwa lurik sudah menjadi
bagian dari kehidupan masyarakat lampau, dapat dilihat dari cerita
Wayang Beber yang menggambarkan seorang ksatria melamar seorang putri
Raja dengan alat tenun gendong sebagai mas kawinnya. Keberadaan tenun
lurik ini tampak pula dalam salah satu relief Candi Borobudur yang
menggambarkan orang yang sedang menenun dengan alat tenun gendong.
Selain itu adanya temuan lain, yaitu prasasti Raja Erlangga dari Jawa
Timur pada tahun 1033 menyebut kain Tuluh Watu sebagai salah satu nama
kain lurik (Djoemena, Nian.S:2000).
Pada awalnya, motif lurik masih sangat
sederhana, dibuat dalam warna yang terbatas, yaitu hitam, putih atau
kombinasal antarkeduanya. Pada jaman dahulu proses pembuatan tenun
lurik ini dimulai dari menyiapkan bahan yaitu benang (lawe). Benang
ini berasal dari tumbuhan perdu dengan warna dominan hitam dan putih.
Selanjutnya, benang tadi diberi warna
dengan menggunakan pewarna tradisional, yaitu yang bernama Tarum) dan
dari kulit batang mahoni. Hasil rendaman daun pohon Tom menghasilkan
warna nila, biru tua, dan hitam, sedangkan kulit batang mahoni
menghasilkan warna coklat.
Sebelum ditenun, benang dicuci
berkali-kali, kemudian dipukul-pukul hingga lunak (dikemplong),
setelah itu dijemur, lalu dibaluri nasi dengan menggunakan kuas yang
terbuat dari sabut kelapa. Setelah bahan atau benang ini kaku,
kemudian diberi warna. Setelah itu dijemur kembali dan benang siap
untuk ditenun.
Dahulu, alat yang digunakan untuk
menenun dikenal dua macam alat, yaitu alat tenun bendho dan alat tenun
gendong. Adapun alat tenun bendho terbyat dari bambu atau batang
kayu, biasanya digunakan untuk membuat stagen. Stagen yaitu ikat
pinggang dari tenunan benang yang sangat panjang dan digunakan untuk
pengikat kain (jarik) oleh para wanita Jawa.
Alat tenun ini digunakan dengan posisi
berdiri. Disebut sebagai alat tenun bendho karena alat yang digunakan
untuk merapatkan benang pakan berbentuk bendho (golok), sedangkan alat
tenun gendong digunakan untuk membuat bahan pakaian, selendang lebar,
maupun jarik (kain panjang). Disebut demikian karena salah satu
bagiannya diletakkan di belakang pinggang, sehingga tampak seperti
digendong. Dalam proses pembuatan kainnya, penenun dalam posisi duduk
memangku alat tenun tersebut.
Dahulu, kain lurik dipakai hampir oleh
semua orang, sebagai busana sehari-hari. Untuk wanita dibuat kebaya,
atau tapih/nyamping/jarik (kain untuk bawahan). Untuk pria, sebagai
bahan baju pria, di Solo disebut dengan beskap, sedangkan di Yogyakarta
dinamakan dengan surjan. Selain itu, lurik juga dibuat selendang
(jarik gendong) yang biasanya dipakai oleh bakul (pedagang) di pasar
untuk menggendong tenggok (wadah yang terbuat dari anyaman bambu),
terutama di daerah Solo dan Klaten
Jawa Tengah. Selain dibuat untuk bahan pakaian ataupun selendang,
yang lebih penting lagi bahwa kain lurik ini dahulu digunakan dalam
upacara yang berkaitan dengan kepercayaan, misalnya labuhan ataupun
upacara adat lain seperti ruwatan, siraman, mitoni, dan sebagainya.
Beberapa Macam Corak Lurik
Meskipun motif lurik ini hanya berupa garisgaris, namun variasinya sangat banyak. Terdapat banyak ragam motif kain lurik tradisional, seperti yang ditulis oleh Nian S.Djoemena (2000) mengenai nama-nama corak, yaitu antara lain: corak klenting kuning, sodo sakler, lasem, tuluh watu, lompong keli, kinanti, kembang telo, kembang mindi, melati secontong, ketan ireng, ketan salak, dom ndlesep, loro-pat, kembang bayam, jaran dawuk, kijing miring, kunang sekebon, dan sebagainya. Dalam Ensiklopedi Indonesia (1997) disebutkan pula beberapa motif seperti ketan ireng, gadung mlati, tumenggungan, dan bribil.
Meskipun motif lurik ini hanya berupa garisgaris, namun variasinya sangat banyak. Terdapat banyak ragam motif kain lurik tradisional, seperti yang ditulis oleh Nian S.Djoemena (2000) mengenai nama-nama corak, yaitu antara lain: corak klenting kuning, sodo sakler, lasem, tuluh watu, lompong keli, kinanti, kembang telo, kembang mindi, melati secontong, ketan ireng, ketan salak, dom ndlesep, loro-pat, kembang bayam, jaran dawuk, kijing miring, kunang sekebon, dan sebagainya. Dalam Ensiklopedi Indonesia (1997) disebutkan pula beberapa motif seperti ketan ireng, gadung mlati, tumenggungan, dan bribil.
Dalam perkembangannya muncul motif- motif
lurik baru yaitu: yuyu sekandang, sulur ringin, lintang kumelap,
polos abang, polos putih, dan masih banyak lagi. Motif yang paling
mutahir adalah motif hujan gerimis, tenun ikat, dam mimi, dan galer.
Dahulu macam ragam corak lurik sangat
banyak, tetapi sekarang banyak yang sudah terlupakan. Tidak semua
orang termasuk para perajin lurik yang ada sekarang ini tahu dan ingat
motif apa saja yang pernah ada, seperti yang dialami oleh Pak Dibyo.
Saat ini perusahaan tenun lurik seperti
milik Bapak Dibyo Sumarto, yaitu perusahaan tenun lurik Kurnia tidak
membuat motif lurik seperti yang disebutkan di atas, karena peminatnya
tidak ada lagi. Motif-motif lurik yang sekarang dibuat lebih
bervariasi, disesuaikan dengan warna-warna yang sedang disukai atau
sedang trend. Jadi, motif atau corak lurik yang ia buat cenderung
selalu berubah dan makin berkembang. Beberapa motif disesuaikan dengan
yang dikehendaki oleh para pembeli. Begitu pula dengan perusahaan
tenun lurik yang dikelola oleh Ibu Nur. Beliau bahkan tidak banyak
membuat motif tenun jika tidak ada pesanan. Beberapa kain lurik ia
buat saat ini lebih banyak untuk seragam sekolah dan selendang. Begitu
pula dengan perusahaan tenun Kurnia yang lebih banyak mendapatkan
pesanan dari sekolah-sekolah yang membutuhkan seragam. Selain itu
pembelinya kebanyakan dari siswa sekolah yang sedang praktek tata
busana.
Namun demikian, perusahaan tenun ini
masih membuat beberapa kain lurik tradisional yang masih dipakai dari
jaman dulu hingga sekarang, yaitu yang dipakai di lingkungan keraton
seperti yang dikenakan oleh para abdi dalem dan para prajuritnya.
Motif yang dipakai para abdi dalem
kerajaan tersebut dinamakan corak telu-pat atau tiga empat dalam bahasa
Indonesia. Pakaian dengan motif ini dinamakan baju peranakan. Baju
ini dikenakan oleh mereka ketika sowan atau caos (menghadap raja).
Kain kluwung, gedog madu, sulur ringin, atau tuluh watu. Selain itu,
ada pula motif lurik lain yang juga hanya digunakan oleh orang-orang
tertentu pada waktu tertentu pula, yaitu yang dikenakan oleh abdi dalem
dan para punggawa keraton. Ketika menghadiri pisowanan (mengahadap
raja), para abdi dalem memakai baju peranakan dengan motif telu pat,
sedangkan para prajurit keraton masingmasing juga memakai motif lurik
yang telah ditentukan.
Prajurit Jogokaryan memakai motif
Jogokaryo, prajurit Mantrijeron memakai motif mantrijero, begitu pula
dengan prajurit Patangpuluhan memakai motif patangpuluh. Seperti yang
diutarakan oleh Pak Dibyo bahwa “Motif keraton memang memiliki corak
tersendiri. Ada yang me-namakannya lurik tiga empat, untuk para abdi
dalem. Nama motifnya yaitu tiga empat, untuk per-anakan…prajurit
keraton antara lain mantrijero, jogo-karyo, patangpuluh. Motifnya
sendiri-sendiri. Motif untuk abdi dalem untuk caos atau sowan yaitu
motif tiga empat.”
Motif lurik untuk prajurit kraton lainnya
adalah motif ketanggung yaitu yang dikenakan oleh prajurit
Ketanggungan. Mengenai motif yang tidak boleh dipakai oleh setiap
orang dikatakan oleh Ibu Nur, “Ya seperti yang dipakai oleh para abdi
dalem, peranakan, hanya dipakai oleh kalangan keraton. Tidak bisa
dipakai umum.”
Namun saat ini, menurut apa yang
dituturkan oleh Pak Dibyo, bahwa para pembeli bebas memilih motif mana
yang dikehendaki. Pembeli boleh memakai kain lurik dengan berbagai
macam corak, entah itu yang semestinya di pakai untuk sowan atau caos,
ataupun yang digunakan untuk prajurit keraton. Untuk saat ini,
biasanya motif lurik yang tidak boleh dikenakan atau dijual untuk umum
yaitu yang dipakai untuk seragam sekolah, karena motif tersebut sudah
merupakan identitas atau ciri khas sekolah yang bersangkutan.
Lurik Masa Kini
Tidak seperti beberapa puluh tahun yang lalu, saat ini tidak banyak masyarakat yang menaruh minat pada lurik terutama untuk dikenakan sebagai busana sehari-hari. Hal ini tampak pada surutnya jumlah pesanan di beberapa perusahaan tenun lurik yang ada di Yogyakarta. Bahkan di beberapa tempat, perusahaan tenun lurik tradisional banyak yang gulung tikar. Seperti yang terjadi di daerah Krapyak Wetan.
Tidak seperti beberapa puluh tahun yang lalu, saat ini tidak banyak masyarakat yang menaruh minat pada lurik terutama untuk dikenakan sebagai busana sehari-hari. Hal ini tampak pada surutnya jumlah pesanan di beberapa perusahaan tenun lurik yang ada di Yogyakarta. Bahkan di beberapa tempat, perusahaan tenun lurik tradisional banyak yang gulung tikar. Seperti yang terjadi di daerah Krapyak Wetan.
Dahulu, di sekitar wilayah tersebut
banyak rumah atau tempat produksi tenun lurik, namun sekarang yang
tertinggal hanya satu yaitu perusahaan tenun lurik Kurnia yang
dimiliki Bapak Dibyo. Menurut cerita masyarakat setempat, di dusun
Mlangi, Kabupaten Sleman pernah berdiri perusahaan tenun lurik
tradisional, tetapi saat ini sudah tidak ada lagi. Beberapa tempat lain
yang diperkirakan masih terdapat tempat pembuatan tenun lurik, yaitu
di dusun Nggamplong, Godean, Sleman, atau di beberapa tempat di
Kabupaten Kulonprogo.
Dahulu di sana banyak ditemui perusahaan
tenun lurik, namun sekarang jika masih ada jumlahnya sangat sedikit.
Menurut beberapa orang, berbagai macam motif yang dulu pernah dibuat,
sekarang sudah tidak dibuat lagi karena peminatnya pun sudah tidak
ada. Banyak perajin di perusahaan tenun tradisional yang sudah berusia
lanjut, tetapi tidak ada regenerasi perajin untuk meneruskan
keahliannya tersebut. Saat ini orang lebih memilih pekerjaan lain dari
pada menenun.
Dahulu, ketika seorang perajin menenun,
ketika ada waktu senggang ia minta anaknya untuk ikut menenun. Si anak
diberi pelajaran sedikit demi sedikit, sehingga lama kelamaan ia bisa
meneruskan pekerjaan orang tuanya. Tetapi saat ini hal ini sudah
sulit dilakukan. Generasi muda tidak lagi mau menenun, lebih memilih
pekerjaan lainnya.
Kondisi ini mendorong seorang mendorong
beberapa desainer seperti Ninik Darmawan, kelompok Lawe, PPPPTK Seni
dan Budaya untuk mengembangkan produk tekstil dengan bahan dasar lurik
untuk diangkat kembali menjadi produkproduk modern, yang tidak hanya
terbatas untuk pakian saja, tetapi lurik dijadikan sebagai bahan tas,
dompet, map, dan lain sebagainya.
Untuk busana desainer Ninik Darmawan
telah mengembangkan beberapa fashion seperti gaun panjang, kemeja
pria, rok, jaket, dan sebagainya. Beberapa pakaian merupakan gabungan
motif lurik dengan kain batik. Ninik mengembangkan kain tenun lurik
tersebut karena kain yang bercorak garis-garis ini memiliki nilai
kesederhanaan.
Kain yang tebuat dari bahan katun
tersebut sebenarnya juga sangat cocok dengan iklim di Indonesia.
Tetapi memang kesan bahwa lurik merupakan pakaian rakyat cukup kental.
Apa yang hendak disampaikannya melalui setiap desainnya yaitu bahwa
motif lurik ini sebenarnya dapat dikembangkan dan dapat dikenakan di
berbagai tempat dan waktu. Menurutnya dengan sentuhan desain, kain
tersebut dapat diolah, dikembangkan, dijadikan busana masa kini, tanpa
merubah arti atau makna yang terkandung di dalamnya.
Produk-produk tekstil dari bahan lurik
dengan desain baru yang indah, tidak kalah menariknya apabila
dibandingkan dengan busana-busana dari bahan batik atau bahan lainnya.
Ternyata lurik menyimpan kekuatan yang begitu dahsyat, sebagai bagian
dari kehidupan masa kini. Apa yang dilakukan Ninik Darmawan, Lawe, dan
PPPPTK Seni dan Budaya sebagai suatu bentuk transformasi budaya, yang
mengangkat budaya lama Indonesia menjadi suatu budaya baru dengan
tidak meninggalkan kekayaan yang telah diwariskan oleh generasi
sebelumnya.
Tradisi bukanlah suatu barang yang
mati, tetapi ia berkembang dan menjelma menjadi ujud baru mengikuti
perubahan jaman. Tradisi melayani kebutuhan kehidupan manusia,
sehingga tradisi harus sesuai dengan jiwa jamannya, tradisi yang tidak
berubah akan menghambat perkembangan dan akan menjadi nilai atau
produk yang basi. Dengan demikian seni tradisi seperti lurik harus
dapat melayani kehidupan manusia masa kini, sehingga lurik akan lebih
bermakna dan bermanfaat bagi kehidupan dari masa ke masa.
Tulisan ini semoga memberi inspirasi
kepada desainer di berbagai tempat di Indonesia, untuk mengangkat
tenun daerah menjadi bagian kehidupan modern, mengingat Indonesia
begitu kaya dengan berbagai macam tekstil khususnya tenun, kita akan
temukan berbagai ragam tenun yangt indah sejak tanah Papua sampai
dengan Nangroe Aceh Darussalam. Semoga kekayaan tersebut tidak menjadi
kesepian dan mati, tetapi menjadi enerji baru yang memberi kesegaraan
sebagai sebuah bangsa yang kaya dan besar..***
Artikel diambil dari “Lurik, Dari Masa ke Masa”Majalah ARTISTA No. 1 & 2 Vol. 10 Thn. 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar